Di
sebuah pondok kecil di dekat pantai, gadis kecil nan mungil tengah duduk
bersimpuh di sebelah ibundanya yang sedang menjahit baju berwarna biru milik
gadis kecil itu. Baju yang paling dia sayangi robek tersangkut perahu nelayan saat ia sedang bermain-main
dengan teman-temannya.
“Ibu..kapankah baju itu selesai
dijahit?”, kata gadis itu tak sabar
menunggu ibundanya yang sedang menjahit baju. “Aku ingin memakainya lagi, Ibu”.
“Sebentar nak, robeknya lumayan
besar jadi kamu harus sabar menunggu jika ingin memakainya lagi”. Jawab ibu
dengan nada menasehati.
“Baiklah bu”. Jawab gadis itu
dengan sedikit kecewa.
Karna
lama menunggu ibunya menjahit, gadis itu masuk ke dalam rumah menuju kamarnya.
Ia mengambil secarik kertas putih yang masih bersih tak ada coretan apapun.
Meskipun ia tidak sekolah dan belum begitu pandai menulis dengan rapi, tetapi
ia sudah hafal bahkan sudah bisa membaca kalimat. Itu berkat ibundanya yang
setiap hari mengajarinya menulis dan membaca.
Dalam
tulisannya itu ia bercerita tentang baju biru yang tengah dijahit ibu. Kata
demi kata ia rangkai menjadi sebuah cerita yang tidak begitu panjang tetapi
hampir penuh satu halaman sebab ukuran hurufnya besar. Selesai menulis cerita
tersebut, kemudian ia gulung kertas itu dan diikat dengan pita agar tidak
terbuka.
Dengan
membawa kertas yang telah digulung tadi, ia berlari menuju pantai. Ia berdiri
tepat di pinggir pantai dengan memandangi matahari yang hampir menghilangkan
sinarnya. Lalu kertas yang berada di tangan kanannya ia hanyutkan ke pantai.
Kertas itu kini hanyut terbawa ombak menuju tengah lautan. Entah mengapa setiap
matahari akan tenggelam, ia selalu menenggelamkan kertas putih yang diikat pita
ke pantai.
Saat
kembali kerumah, ia bertanya kepada ibunya tentang ayahnya yang sudah 5 bulan ini tidak pulang. Dengan
menyembunyikan air matanya Ibu selalu menjawab kepada gadis itu bahwa ayah
sedang berlayar di pulau yang jauh untuk mencari uang demi menyekolahkan kamu.
########################
Suara
ayam berkokok membangunkan gadis itu, tanpa mandi dulu ia langsung turun dari
tempat tidur dan bergegas membuka pintu depan. Ia melongok ke depan. Menengok
ke kanan dan ke kiri rumah seperti berharap ada seseorang yang datang. Ya..memang
ia selalu berharap ayahnya membaca surat yang dihanyutkan ke pantai sehingga ia
pulang. Hal itu dilakukannya setiap pagi, setiap hari setelah bangun dari
tidur. Jika tidak ada yang datang, lalu ia masuk dan berangkat mandi. Ibunya
pun tak menyadari bahwa gadis itu melakukannya setiap pagi.
Setiap
hari gadis kecil itu membantu ibunya memasak dan juga membungkus kue basah yang
akan dijual ibu. Ibunya bekerja sebagai penjual kue basah keliling. Gadis itu
sering mengikuti ibunya berkeliling pantai dan perkampungan sekedar untuk
berjalan-jalan dan menemani ibunya berjualan.
“Ibu,
kenapa aku tidak sekolah seperti mereka?”, tanya gadis kecil itu ketika melihat
anak-anak seumurannya berangkat ke sekolah di sebuah perkampungan.
“Karena
ibu belum memiliki biaya untuk menyekolahkan engkau anakku. Ibu janji dari
hasil penjualan kue-kue ibu selama ini akan ibu pakai untuk menyekolahkan
engkau”. Jawab ibu dengan mata berkaca-kaca.
“Semoga
hari ini kita mendapat uang yang banyak ya bu. Dan juga semoga ayah cepat
pulang mendapatkan banyak uang juga. Aku kangen banget sama ayah bu”. Ucap
gadis itu dengan wajah sumringah. Lalu ia meraih tangan ibu dan melanjutkan
berjualan keliling kampung. Namun air mata ibu jatuh saat mendengar gadis itu
berdoa untuk kepulangan ayahnya. Entah apa yang disembunyikan ibu dari gadis
itu.
################################
Setelah
beberapa bulan berjualan, ibunya mendapatkan banyak langganan. Bahkan banyak
warung makan yang mau membantu untuk menjual kembali kue-kue yang dibuatnya.
Penghasilan ibu semakin meningkat sehingga dari hasil itu akhirnya ibu dapat
menyekolahkan anaknya.
Setahun
berlalu, gadis itu dapat bersekolah layaknya anak-anak lain di kampungnya. Ia
sangat menikmati sekolahnya. Tepat di hari ini sekolah mengadakan acara
peringatan “Hari Ayah”. Acara tersebut dihadiri oleh ayah dari masing-masing
murid di SD itu. Tidak seperti murid-murid lain yang datang bersama ayahnya,
gadis itu datang bersama ibundanya. Acara berlangsung meriah, ada senam pagi
dan juga permainan yang dilakukan kolaborasi antara ayah dan anak.
Namun, gadis kecil itu tampak murung dan
sedih. Ia sedih karena iri melihat teman-temannya yang mengikuti acara bersama
ayahnya. Sedangkan hanya dia saja yang pada saat itu bersama ibunya. Dari awal
acara hingga akhir, ia tidak bersemangat ketika di ajak senam dan permainan.
Ibu sudah mencoba menghiburnya, tetapi ia tetap saja sedih.
Sampai
di rumah, ia berlari menuju kamarnya. Ibu pun mengikutinya. Perlahan ibu
membuka pintu kamarnya. Ibu melihat gadis itu menangis dengan wajah ditutup
dengan bantal agar tidak ketahuan bahwa ia sedang menangis. Hati ibu runtuh
saat melihatnya, ibu tak kuasa menahan air matanya. Lalu ia menuju kamarnya
dengan air mata bercucuran di pipi.
Ibu
menarik sebuah kotak kecil yang sedikit usang yang sudah lama tidak pernah ia
buka dan dibersihkan. Ia buka kotak kecil itu perlahan, tetapi tak kuasa
menahan tangis lalu ia tutup kembali kotak itu. sedikit demi sedikit ibu
mencoba untuk membuka kotak tersebut. Di dalamnya terdapat sebuah foto keluarga
yaitu ibu, ayah, dan gadis kecil itu yang pada saat itu masih bayi sehingga ia
digendong oleh ayahnya. Juga terdapat sebuah surat wasiat kepada ibu untuk
menjaga gadis itu dan menyekolahkan setinggi mungkin. Di dalam surat wasiat itu
terdapat sebuah bungkusan dari kain yang di dalamnya terdapat sebuah kalung
dengan liontin berwarna biru.
Setelah
itu, ibu membawa kotak beserta isinya ke
kamar anaknya. Ia menjelaskan dengan pelan-pelan agar anaknya tabah dan sabar mendengar
ceritanya. Kata demi kata ia rangkai menjelaskan kepada gadis kecil itu.
Dengan
mengelus kepala anaknya ibu berkata, “Ayahmu telah meninggal 1 tahun yang lalu.
Saat itu ayah sedang mencari ikan di laut sendirian. Padahal ibu sudah
melarangnya untuk tidak berlayar. Namun ayahmu nekad, sebab di rumah sudah
tidak ada lauk untuk di makan. Badai besar datang, akibatnya ayahmu tenggelam
di laut. Sebelum ayahmu pergi ayah meninggalkan ini untukmu nak. Sebuah kalung
yang ayah beli dari hasil tangkapannya sebelum ia pergi untuk selamanya”.
Air
mata berlinang dari keduanya. Ibu memeluk gadis itu seerat mungkin. Kini hanya
ada kenangan yang ditinggal ayah gadis itu. Belum sempat mata gadis itu melihat
wajahnya, ayahnya sudah pergi untuk selamanya.